Sharing Economy Bolehkah Tanpa Regulasi?

Sharing Economy atau Ekonomi Berbagi sejatinya bukan barang baru. Akan tetapi, kegiatan ekonomi berbagi itu semakin marak karena ketersediaan teknologi internet dan pengembang aplikasi yang menyediakan aplikasi yang menjadi perantara antara pemilik barang/penyedia jasa dengan penyewa/pembeli jasa. Dunia tidak dapat menghindari mengglobalnya sharing economy karena ketersediaan teknologi internet yang memang telah membuat siapa pun dan di mana pun dapat menawarkan produk/jasa kepada siapa pun dan di mana pun di muka bumi. Akan tetapi, apakah sharing economy itu boleh dibiarkan tanpa ada regulasi sama sekali?

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ini hanya pendapat saja. Menurut Kang Kombor, pendapat banyak orang bahwa hukum yang ada saat ini sudah usang dan tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi tidak sepenuhnya tepat. Sebagai contoh, untuk kasus angkutan umum online yang ramai di Jakarta karena sudah dua kali sopir taksi dan angkutan umum lain melakukan demo meminta pemerintah untuk  menyamakan persyaratan angkutan umum aplikasi dengan angkutan umum yang sudah ada dan hari ini di Bali pun sopir taksi juga menggelar demo yang sama, aturan hukum pada UU Nomor 22 Tahun 2008 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu masih memadai. Penyedia angkutan umum berbasis aplikasi tinggal menyesuaikan saja dengan aturan hukum mengenai penyediaan angkutan umum. Angkutan umum antara angkutan umum aplikasi dan angkutan umum yang sudah ada tidak berbeda. Keduanya sama-sama angkutan umum. Mengapa harus dibedakan?

Selain berbagi mobil/kendaraan, ekonomi berbagi juga bisa dipergunakan oleh pemilik barang/jasa lainnya untuk menyewakan barangnya atau menyediakan jasanya. Misalnya, pemilik rumah yang rumahnya nganggur bisa menyewakan rumahnya kepada siapa pun yang membutuhkan rumah, pemilik kamar yang nganggur di rumah bisa menyewakan kamarnya kepada yang membutuhkan kamar, pemilik kendaraan yang kendaraannya nganggur bisa menyewakan kendaraannya pada yang sedang butuh kendaraan, pemilik alat potong rumput, pemilik traktor, pemilik gerobak, ahli desain, tukang listrik, tukang batu, dan apa pun yang lain bisa menyediakan barang/jasa kepada yang membutuhkan. Apakah hal seperti itu baru? Sebenarnya tidak juga. Hanya saja, akhir-akhir ini hal itu semakin menggejala.

Dalam sharing economy semua orang bisa membisniskan apa yang dimilikinya. Untuk bisa berusaha, orang tidak perlu lagi mendirikan perusahaan. Di situ kuncinya. Itu pun bukan hal yang baru. Orang perorangan yang menyewakan rumah atau kamar juga banyak yang bukan perusahaan. Untuk bisa menyewakan kamar tidak harus membangun hotel. Itu bukan barang yang baru. Hanya saja, dulu belum ada yang menamai hal itu sebagai sharing economy. Kegiatan ekonominya sudah banyak tetapi belum ada yang memberi kegiatan ekonomi itu nama: ekonomi berbagi.

Ekonomi Berbagi Tidak Perlu Diregulasi?

Menurut saya perlu. Bukan untuk keperluan negara dalam rangka memungut pajak saja melainkan untuk perlindungan konsumen dan produsen yang terlibat dalam kegiatan ekonomi berbagi. Negara harus menentukan bidang-bidang apa saja yang boleh dilayani kegiatan ekonomi berbagi dan mana yang tidak. Sudah banyak kok contohnya di negara lain yang sudah lebih dulu dilanda fenomena ekonomi berbagi berbasis aplikasi. Sebagai contoh, uber menghadapi respon yang berbeda-beda di banyak negara. Ada yang membolehkan, ada yang membolehkan dengan syarat tertentu, dan ada pula yang melarang. Pembolehan atau pelarangan itu merupakan wewenang negara, tentu saja setelah menganalisis dan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kepentingan dan kesejahteraan warga negaranya.

Kang Kombor sendiri berpandangan bahwa ekonomi berbagi harus diregulasi. Apa kita akan hidup di dunia yang penuh anarki sehingga kita berpikir bahwa ekonomi berbagi tidak perlu lagi diregulasi?

Selamat berbagi!

Komentar