Entah mengapa hari-hari ini Kang Kombor sedang senang bernostalgia. Setelah lamat-lamat mendengarkan alunan musik pengiring Senam Kesegaran Jasmani, Kang Kombor sekarang sedang mencoba mengungkap kenangan mengenai klompencapir. Ya! Klompencapir yang itu, Kelompok Pendengar Pembaca dan Pirsawan. Kelompok warga yang selalu belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui mendengarkan siaran radio, membaca koran, majalah atau buku-buku dan memirsa siaran televisi. Kelompok-kelompok warga yang juga tergabung dalam kelompok tani.
Orang seusia Kang Kombor atau yang lebih tua tentu ingat bahwa klompencapir ini juga sering dilombakan. Jujur saja, acara klompencapir ini dulu sering Kang Kombor tonton bersama keluarga. Kang Kombor selalu saja kagum dengan para petani yang pinter-pinter. Pinter memilih benih. Pinter mengenali hama tanaman. Pinter menandai anak bebek yang jantan atau betina. Pinter membuat minyak kelapa. Dan pinter yang lain…
Orde Baru? Ya… tentu saja klompencapir itu adanya di zaman Orde Baru. Akan tetapi, apa yang salah dengan itu?
Kita suka alergi dengan Orde Baru. Padahal, banyak hal yang di zaman Orde Baru yang lebih baik dari pada apa yang ada di zaman sekarang ini. Satu hal adalah soal klompencapir itu. Hal lain, soal Keluarga Berencana. Soal PKK. Bahkan, dalam hal kedekatan pemimpin dengan rakyatnya, Orde Baru pun lebih jawara dibandingkan dengan pemimpin mana pun pasca reformasi. Pak Harto senang sekali berdialog dengan warga masyarakat dalam acara-acara kunjungannya. Tak jarang, Pak Harto juga memberi soal dalam lomba klompencapir. Coba dengan pemimpin pasca reformasi, adakah yang mampu menandingi Pak Harto dalam hal bertemu rakyat?
Kang Kombor ingin mengajak Kawan-Kawan untuk tidak melupakan sejarah. Klompencapir adalah bagian dari sejarah bangsa kita ini. Menurut Kang Kombor, klompencapir itu juga sejarah yang bagus. Di masa itu menjadi petani kok sepertinya makmur. Tidak seperti saat ini di mana semua orang berlomba-lomba untuk pergi ke kota mencari pekerjaan seolah-olah desa sudah kehabisan tanah garapan. Atau, karena orang-orang desa sudah tidak piawai bertani lagi karena pemerintah sudah tidak mampu menyediakan penyuluh-penyuluh lapangan yang dulu rajin mendampingi petani?
Nice info. Thanks for sharing.
BalasHapus