Paguyuban Anggoro Kasih Diskusi Budaya Jawa Setiap Malam Selasa Kliwon

Mau kumpul setiap malam Selasa Kliwon membahas Budaya Jawa? Apabila mau, hadirlah pada pertemuan Paguyuban Anggoro Kasih. Paguyuban ini berkumpul setiap malam Selasa Kliwon untuk membahas Budaya Jawa.

dicipok anggoro kasih

Pada acara Dicipok I dulu, Paguyuban Anggoro Kasih diundang untuk membawakan materi kearifan lokal Budaya Jawa. Malam Selasa Kliwon kemarin, giliran Dicipok yang diundang untuk hadir dalam pertemuan Paguyuban Anggoro Kasih. Kali ini lokasi pertemuan di rumah Ki Maknyo di Perumahan Wilahan Baru. Materi yang dibahas berupa kearifan lokal Budaya Jawa Yogyakarta yang dibawakan oleh Ki Drs. Djoko Setiyono, seorang dosen dan pegawai Pemkot Yogyakarta.

Anggota Dicipok yang hadir adalah Suryaden, Azhie Kurosaki, Elang Ajib, Tomi Purba, Rian (tuan rumah), Apri dan Kang Kombor sendiri.

Bahasan Ki Djoko dimulai dengan diagram otonomi daerah dan diagram Prolegda. Dalam diagram Prolegda, ditampilkan aneka aspek obyek legislasi daerah dan di tengah-tengahnya adalah Jati Diri dan Kearifan Lokal. Maksudnya, setiap program legislasi daerah itu harus memperhatikan jati diri dan kearifan lokal daerah tersebut.

anggoro kasih 2

Setelah menjelaskan mengenai kedua diagram tersebut, Ki Djoko masuk ke materi yang dibagi dalam 8 pokok bahasan Simpul dan Simbol Budaya Jawa Yogyakarta yaitu:

  • Ayodya
  • Kyai Guwa Wijaya
  • Jatidiri Jawi
  • Hasta Brata
  • Dasa Candra
  • Candhi Sapta Hargo
  • Goro-goro
  • Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu

Kang Kombor tidak akan menjabarkan semuanya tetapi soal Ayodya dan Kyai Guwa Wijaya saja karena apabila dijabarkan semua, bisa-bisa Kawan-Kawan nanti malah pada bosan.

Menurut Ki Djoko, nama Ngayogyakarta berasal dari Ayodya, sebuah nama kerajaan dalam cerita pewayangan. Kerajaan Ayodya dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Dasarata yang memiliki empat putra yaitu Raden Legawa, Raden Bharata, Raden Laksmana dan Raden Satruna. Keempat putra itu berasal dari tiga orang istri yaitu Dewi Kausalya, Dewi Kaikayi dan Dewi Sumitra. Kausalnya berputra Raden Legawa, Dewi Kaikayi berputra Raden Bharata dan Dewi Sumitra berputra kembar Raden Laksmana dan Raden Satruna.

Pada saat senjanya, Prabu Dasarata akan mengangkat Raden Legawa menjadi raja menggantikan posisinya. Akan tetapi, Prabu Dasarata pernah berjanji pada Dewi Kaikayi bahwa Prabu Dasarata akan meluluskan sebuah permintaan Dewi Kaikayi, apa pun yang diminta oleh Dewi Kaikayi. Emban Dewi Kaikayi mengingatkan Dewi Kaikayi mengenai adanya janji tersebut lalu Dewi Kaikayi meminta kepada Prabu Dasarata agar putranya, yaitu Raden Barata, yang diangkat menjadi raja. Karena telah berjanji, Prabu Dasarata yang memegang teguh janjinya pun meluluskan permintaan tersebut.

Raden Legawa yang mendengar hal tersebut pun legawa dengan keputusan Prabu Dasarata tetapi Raden Legawa bersama istrinya, Dewi Shinta, meminta untuk meninggalkan istana. Hal itu bukan karena marah atau kesal melainkan karena Raden Legawa ikhlas kepada keputusan Prabu Dasarata. Uniknya, Raden Bharata yang merasa bahwa singgasana Kerajaan Ayodya bukan merupakan kewajibannya pun tidak pernah menduduki singgasana. Singgasana justru dipergunakan untuk meletakkan alas kaki Raden Legawa.

Menurut Ki Djoko, Kerajaan Ayodya dibuat untuk kebaikan dan kemakmuran rakyatnya dan hal itu juga ditunjukkan oleh putra-putra Prabu Dasarata yang tidak berebut tahta. Hal itu pula yang menjadi jiwa dari pemakaian nama Ngayogyakarta yang diambil dari nama Ayodya. Demikian menurut Ki Djoko.

Sebagai informasi, nama Raden Legawa adalah nama muda dari Prabu Ramayana.

anggoro kasih

Mengenai Kyai Guwa Wijaya, Ki Djoko menjelaskan bahwa Kyai Guwa Wijaya adalah senjata Raden Legawa atau Prabu Ramayana yang berupa panah. Senjata ini yang dipergunakan oleh Prabu Ramayana untuk mengalahkan Prabu Rahwana dari Alengka yang menculik Dewi Shinta.

Ki Djoko menjelaskan bahwa nama Guwa Wijaya berasal dari dua kata yaitu guwa dan wijaya. Guwa atau gua berarti kedalaman dan wijaya berarti kejayaan. Sedangkan kata kerja panah dalam Bahasa Jawa adalah manah atau batin. Panah Guwa Wijaya berarti bahwa kejayaan suatu negara itu harus diperoleh dari kedalaman batin sang pemimpin. Kyai Guwa Wijaya itu oleh Ki Djoko digambarkan sebagai garis imajiner yang berupa garis lurus yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan. Busurnya adalah peninggalan-peninggalan budaya dari Prambanan sampai Borobudur. Sedangkan, tali busurnya adalah Sungai Progo di sebelah Barat yang mengalir dari arah Utara menuju Selatan – Timur dan Sungai Opak di Timur yang mengalir dari arah Timur menuju Selatan – Barat.

Sedikit mengenai Hasta Brata adalah ciri-ciri atau sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Demikian sekilas tentang bahasan yang dibawakan oleh Ki Djoko. Pembahasan lainnya nanti tunggu saja notulen pertemuan apabila sudah keluar Open-mouthed smile.

Pertemuan Paguyuban Anggoro Kasih tersebut beranggotakan sekitar 70 orang yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, profesi, keilmuwan dan kepercayaan tetapi semuanya sama dalam hal mencintai Budaya Jawa. Beruntung Dicipok diundang ke pertemuan kemarin malam. Paguyuban Anggoro Kasih pun mengharapkan Dicipok dapat hadir pada pertemuan-pertemuan selanjutnya karena memang selama ini yang hadir dalam pertemua adalah orang-orang sepuh sedangkan anggota Dicipok yang hadir adalah kawula muda semua. Tentu hal itu akan semakin melengkapi keberagaman Paguyuban Anggoro Kasih.

Pertemuan selanjutnya pada malam Selasa Kliwon bulan depan akan dilangsungkan di Babadan, Pabdowoharjo, Bantul. Monggo yang tertarik silakan hadir.

Komentar

  1. kenapa selasa kliwon kang ???
    sayang ya di jakarta gak ada yg seperti itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya pertemuan dilakukan pada malam hari di Senin Legi. Hehehe, itu memang malam Selasa Kliwon.

      Pertemuan dilakukan setiap malam Selasa Kliwon karena nama paguyubannya adalah Anggoro Kasih. Anggoro = Selasa dan Kasih = Kliwon.

      Hapus
  2. Pertanyaan yang sama kenapa Kliwon?, ini pasti ada hubungannya dengan Budaya Jawa yang diatas, gitu Kang?
    Saya sendiri abu-abu, alias separuh jawa...

    Lha ojo-ojo malah, pertanyaan saya sama Mas Monk, dijadikan judul postingan Kang Kombor berikutnya. Menurut sejarah budaya jawa, bla...bla...bla...KLIWON mengandung arti, wkwkkwkw

    Salam Kang,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soal kenapa Kliwon sudah saya jawab pada pertanyaan StuMon di atas, Mas.

      Untuk kiriman baru yang mengupas mengenai Kliwon saya kira tidak perlu hehehe. Kasih adalah nama lain dari Kliwon. Bagus kan, kasih... Lagipula tidak setiap malam Kliwon itu dipercaya sebagai malam yang sakral. Hanya malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon kalau tidak salah.

      Hapus
  3. wow ... ini acara yang sangat keren, mas arif, apalagi para blogger banyak yang terlibat. semoga event semacam ini bisa memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam upaya melestarikan dan menumbuhkembangkan budaya jawa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paguyuban Anggoro Kasih itu sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu, Pak, dan narablog baru pada malam Selasa Kliwon kemarin hadir. Mudah-mudahan seterusnya bisa hadir. Paling tidak untuk menginformasikan kegiatan PSK itu, dan menuliskan sedikit dari apa yang dibahas.

      Kegiatannya memang bagus. Pokok-pokok budaya yang dibahas pun, menurut saya yang baru sekali ikut juga bagus.

      Hapus
  4. Acara yang dah lama tak kuikuti...
    Thanks untuk berbagine Kang...

    BalasHapus
  5. Alamak,teringin la sy bisa hadir kat situ bkn sj krn weton Selasa kliwon tpi utamanya krn forum ni sangat "memperkaya kejiwaan".Anyway,thank 4 postingnya ya Bro.

    BalasHapus
  6. Alamak,teringin la sy bisa hadir kat situ bkn sj krn weton Selasa kliwon tpi utamanya krn forum ni sangat "memperkaya kejiwaan".Anyway,thank 4 postingnya ya Bro.

    BalasHapus

Posting Komentar