Kisah horor ini dialami oleh tetanggaku sendiri. Namanya Punjul. Itu nama paraban, bukan nama sebenarnya. Dia memang diparabi Punjul. Aku pun memanggilnya dengan parabannya itu.
Punjul itu sering aku mintai tolong untuk membantuku melakukan pekerjaan-pekerjaan. Yang paling sering adalah membersihkan rerumputan di pekarangan apabila sudah pada mulai meninggi.
Singkat cerita, kampung kami dilewati oleh sebuah sungai. Sungai Nyoho atau kami lebih sering menyebutnya Kali Nyo. Kali Nyo ini bermata air di Plosokuning, Bangunkerto, Turi, Sleman. Di Plosokuning, mata air Kali Nyo itu dibuat area wisata.
Pada salah satu lokasi aliran Kali Nyo yang melewati kampung kami ada sebuah cerukan sungai yang kami sebut bunderan. Cerukan sungai itu berupa struktur batu padas yang pada bagian tengahnya berbentuk bundar seperti sebuah mangkok. Karena bentuknya yang seperti itulah kami menyebut cerukan itu sebagai bunderan.
Saat kami kecil, bunderan Kali Nyo itu kami pakai untuk sekedar ciblon atau mandi-mandi. Pura-puranya berenang walaupun sebenarnya lebih tepat disebut berendam.
Bunderan ini diapit oleh dua tebing sungai yang cukup tinggi. Di tebing sebelah barat terdapat pohon-pohon besar dan di tebing sebelah timur terdapat rumpun bambu. Sinar matahari tak leluasa untuk bisa menyorot sampai ke bunderan. Suasananya menjadi terasa magis.
Di tepi Kali Nyo sisi barat di sebelah selatan bunderan terdapat belik dan pancuran. Dulu belik dan pancuran itu selalu dipakai mandi oleh sebagaian warga yang tinggal dekat Kali Nyo setiap pagi dan sore. Kalau siang hari, banyak ibu-ibu dan gadis remaja yang mencuci pakaian di belik itu.
Nah, suatu malam, Punjul mancing di bunderan. Berbekal pancing dengan joran dari bambu yang dibuat sendiri dan berumpankan cacing tanah, Punjul mancing sendirian di bunderan.
Aku sebenarnya tidak bisa membayangkan mengapa Punjul berani-beraninya mancing di bunderan seorang diri pada malam hari. Sedangkan, pada siang hari saja kalau sendirian di bunderan, suasananya sering membuat bulu kuduk berdiri.
Punjul asyik mancing di bunderan. Memang di bunderan lumayan banyak ikannya. Ada wader, uceng dan juga kotes.
Lama Punjul mancing di bunderan. Sudah banyak cacing tanah yang habis dimakan oleh ikan tapi baru sedikit ikan yang didapatnya. Punjul tidak putus asa. Dia tetap mancing di bunderan karena umpan cacingnya masih ada.
Suasana gelap. Gemericik air di bunderan hanyalah satu-satunya bunyi yang menemani Punjul mancing. Beberapa kali angin bertiup mengusap tengkuk Punjul. Punjul hanya mengusap tengkuknya yang terasa dingin setiap kali tengkuknya dihembus angin.
Walaupun Suasana gelap dengan angin yang kadang bertiup kencang di arah tengkuknya, Punjul tidak peduli. Kalau kita yang mancing, tentu kita akan berpikir lagi untuk meneruskan mancing apabila tengkuk kita ditiup angin sampai beberapa kali. Tapi entahlah. Entah apa yang ada di dalam pikiran Punjul sehingga ia terus mancing di bunderan. Mungkin Punjul tidak berpikir aneh-aneh karena dia memang lugu.
Punjul mengganti umpan cacing yang habis dimakan ikan. Pelan-pelan dia pasang cacing tanah di mata pancingnya. Suasana gelap membuat usaha memasang umpan cacing tanah hidup tidak secepat di siang hari di saat banyak cahaya matahari.
Selesai memasang umpan, Punjul melemparkan mata pancingnya ke bunderan. Dia pun menunggu sambil jongkok di batu padas di pinggir bunderan.
Punjul sabar menunggu.
Akhirnya, kesabaran Punjul itu terbayarkan. Sebuah tarikan kuat dari mata kail di bunderan menyentak joran yang dipegangya. Punjul terkesiap.
“Wah, lele ini pasti.” Kata Punjul dalam hati. “Kalau tarikan sekuat ini biasanya ikan lele yang besar.”
Punjul pun menarik kailnya. Berat. Ia Tarik-tarikan dengan ikan yang menyangkut di kailnya.
“Wah berat sekali. Ini pasti lele yang besar!” dalam hati Punjul kegirangan.
Akhirnya setelah sekian lama Tarik-tarikan, ikan yang menyangkut di mata kailnya itu pun dapat disendal keluar dari dalam air.
Dalam suasana gelap Punjul melihat sebuah benda tergantung di ujung kailnya. Benda itu cukup besar.
“Pantas berat. Lah wong sebesar itu.” Kata Punjul.
Lalu Punjulpun mendekatkan ujung kailnya ke tangannya. Tangan kirinya memegang senar di atas ikan itu. Lalu setelah meletakkan joran di samping kanannya, Punjul memegang ikan itu dengan tangan kanannya lalu mengangsurkan ke tangan kirinya. Tangan kanannya bermaksud dipakai untuk melepaskan mata kail dari mulut ikan.
“Kok bentuk ikan ini bukan seperti ikan ya.” Punjul bergumam. “Bentuknya aneh. Ikan ini terasa dingin sekali. Seperti ada jari-jari dengan kuku panjang di ujungnya. Dan pula, sekujur tubuhnya berambut. Mana ada ikan berambut seperti ini?”.
Punjul mulai merasa aneh saat hendak mencopot mata kail dari mulut ikan itu. Dia merasakan ada sesuatu yang tidak be-res. Akhirnya, dia pun memegang ikan itu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya merogoh saku celananya untuk mengambil korek api.
Saat sudah mendapatkan korek api. Korek api itu pun dinyalakan di dekat tangan kirinya.
“Wa!” Punjul berteriak kaget. Ternyata yang dipegangnya bukanlah seekor ikan. Yang dipegangnya itu potongan tangan yang besar. Kulit potongan tangan itu penuh rambut dan kuku-kuku di ujung jaringnya runcing-runcing. Potongan tangan itu bergerak seperti mau mencakar muka Punjul.
Sepontan, Punjulpun melemparkan potongan tangan itu dan lari meninggalkan kail dan ikan-ikan yang sudah didapatnya. Punjul lari lalu merayap-rayap ke atas tebing. Suasana gelap membuatnya beberapa kali terpeleset jatuh.
Sampai di atas tebing Punjul berbalik dan memandangi bunderan. “Sialan! Bukan dapat ikan malah dapat tangan genderuwo!”. Punjul lalu beringsut dan berjalan kaki ke arah rumahnya sambil ngomel-ngomel.
Kawan-Kawan sekalian. Itulah kisah Punjul yang mancing ikan di bunderan tapi malah dapat tangan genderuwo. Bukan Punjul saja yang mancing mendapat tangan genderuwo. Pernah ada pemancing dari luar kampung kami mancing di bunderan malam-malam dan dia pun dapat potongan tangan. Pemancing itu kapok untuk mancing lagi di bunderan baik malam hari maupun siang. Dia sudah telanjur ketakutan.
Komentar
Posting Komentar